Rabu, 04 Juni 2008

Madu obat yang menyembuhkan bagi manusia (QS: An-Nahl: 69) Untuk pemesanan madu habbatussauda murni asli mesir no:1 Hub Bin Muhsin HP: 085227044550 / 021-91913103 email: binmuhsin_group@yahoo.co.id

PAKAILAH HANYA MADU HABBATUSSAUDA MURNI KARENA DI DALAMNYA MENGANDUNG MANFAAT HABBATUSSAUDA.

C Wahyu Haryo PS

Madu hutan menjadi bagian dari kehidupan penduduk suku Melayu yang berdiam di Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sejak lama. Mereka mengambil madu dari sarang lebah yang ada di pohon tempurau dan rengas setinggi 20-40 meter, di kawasan hutan Taman Nasional Danau Sentarum yang luasnya 132.000 hektar.

Pohon bersarang lebah itu oleh penduduk setempat disebut lalau, sedangkan orang yang memanjat pohon untuk mengambil madu disebut penait.

Ironisnya, cara pencarian madu alam seperti ini tak banyak lagi dilakukan warga karena mereka tak menguasai timang lalau (pembacaan mantra) untuk panen lebah.

Maka, Abdullah, lelaki yang tinggal di Desa Semalah, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, menjadi satu-satunya warga suku Melayu yang masih setia menggeluti pekerjaan sebagai penait lalau. Warga memanggilnya Pak Anjang.

”Orang yang berani memanjat pohon tinggi memang banyak. Tetapi, orang yang berani memanjat pohon tinggi untuk mengambil madu di lalau dan bisa menimang lalau hanya Pak Anjang,” ucap warga setempat.

Hanya orang bernyali kuat yang berani menjadi penait lalau sebab sarang lebah yang dipanen bukan satu-dua buah, melainkan dalam satu lalau ada 20-30 sarang lebah madu.

Setiap sarang dihuni lebih dari 10.000 lebah. Saat mengambil madu dari sarang, penait lalau harus berani berhadapan dengan ribuan lebah yang siap menyengat. Untuk meminimalkan amukan lebah, Abdullah memanen madu pada saat hari gelap, dari malam hingga subuh. Adapun untuk proses kelancaran pemanenan, ia lebih dulu melakukan tradisi menimang atau melantunkan mantra.

Menghormati alam

Tradisi pembacaan mantra ini berkaitan dengan kepercayaan adanya roh atau kekuatan tak tampak yang senantiasa menjaga alam. Mereka juga menganggap ada yang menjaga lalau. Maka, saat hendak mengambil madu sebagai bagian dari hasil alam, mereka perlu izin kepada roh penjaganya.

”Seorang penait lalau harus bisa menimang, meminta izin kepada alam sebelum mengambil madu,” kata Pak Anjang.

Proses menait lalau melewati beberapa tahapan, tiap tahapan harus didahului dengan menimang. Syair yang dibawakan saat menimang juga berbeda-beda.

Begitu melihat sarang lebah, penait kembali menimang. Misalnya tak ada angin, maka penait menimang meminta angin agar lebah yang diasapi bisa menjauh terbawa angin. Kalau terang bulan purnama, penait menimang untuk meminta awan gelap menutupi rembulan. Dari pengalaman mereka, lebah menjadi agresif jika ada cahaya.

Saat memanen pertama, penait juga menimang sebagai wujud syukur atas madu yang diberikan alam. Itu dilakukan sambil membuang beberapa potong sarang lebah berisi madu ke semua penjuru mata angin.

”Membuang sebagian madu yang dipanen maknanya berbagi dengan roh penjaga sungai dan hutan,” katanya.

Madu lalu dimasukkan dalam ember yang diikat dengan tali. Tali diulur ke bawah, seperti orang menurunkan ember saat menimba air. Saat mengulur tali, penait menimang lagi agar tali tak putus atau menyangkut di dahan.

Saat menait lalau, Pak Anjang biasa dibantu Aim (31), keponakannya. Aim berjaga di bawah pohon, menerima ember yang diulur Pak Anjang, dan mengumpulkan madu dalam ember yang lebih besar.

Dalam satu lalau bisa dipanen madu hingga 150 kilogram (kg), berharga jual Rp 25.000 per kg. Untuk memanen madu sebanyak itu, terkadang diperlukan waktu dua malam. Saat pulang pun, penait harus menimang, meminta izin pulang dan berterima kasih atas panen madunya.

Terjatuh

Pak Anjang belajar menait lalau dari ayahnya, Yusuf, sejak masa kecil. Ia selalu mendengar dan memerhatikan ayahnya menimang saat menait lalau. Lama-kelamaan ia hafal syair timangan lalau. Saat ayahnya meninggal, ia mewarisi empat lalau yang dimiliki nenek moyangnya turun-temurun.

Dalam menait lalau, warga setempat percaya bila salah timang, penait mengalami seperti halusinasi dan terjatuh dari lalau. Itu pernah dialami Pak Anjang tahun 1996. Saat itu ia jatuh dari ujung pohon rengas setinggi 40 meter tanpa menyangkut di dahan pohon. Namun, saat mendarat di tanah yang tergenang air setinggi 20 sentimeter, tubuhnya tak mengalami luka serius. Penait lalau juga harus bersiap disengat lebah. Bagi Pak Anjang, disengat lebah sudah menjadi hal biasa.

Seiring perjalanan waktu, warga menemukan cara baru membudidayakan lebah madu hutan. Mereka menggunakan selembar papan yang dijadikan dahan buatan dan diletakkan di pohon yang tingginya berkisar 3 meter. Warga menyebut papan tersebut dengan istilah tikung.

Madu pada tikung bisa dipanen siang hari karena koloni lebah yang hidup di pohon itu tidak sebanyak pada lalau. Dengan ditemukannya cara baru itu, warga menjadi enggan menait lalau. Mereka memilih membudidayakan lebah madu hutan di tikung.

Membudidayakan lebah madu hutan di tikung lebih praktis daripada menait lalau. Namun, bila tradisi menait lalau tak dilestarikan, Pak Anjang benar-benar menjadi penait lalau terakhir di kawasan habitat lebah madu hutan terbesar di Kalbar itu.

Syair ”Timang Lalau”

Saat hendak memanjat: Patah jarum patah penyait, anak munsang meniti akar. Asa bergetar betis aku nait, kami bujang baru belajar (Jarum patah jahitan juga patah, anak musang meniti akar. Perasaan bergetar betis ini waktu naik, kami pemuda sedang belajar).

Saat sampai di dahan pertama: Tempukung sikuta bangan, anak biak belajar nyumpit. Pakau ku tuntung dipampang dan, udah kuanjak daun bergerak, udah kuinjit ndak merikit. Payak lucak ulu tempunak, mengkam dalam ulu sekayam (Semut-semut berada di sarangnya, anak kecil belajar menyumpit. Tanggaku selesai di dahan pertama, sudah kuinjak tidak bergerak, sudah kuguncang tidak bersuara. Lumpur terletak di hulu Tempunak, tersimpan di dalam Hulu Sungai Sekayam).

Saat mulai mengasapi atau mengusir lebah: Bukan emas sembarang emas, emas datang sidari Jawa. Bukan tepas sembarang tepas, tabik ampun kita semua (Bukan emas sembarang emas, emas datang dari Jawa. Bukan usir sembarang usir, mohon ampun kepada penunggu lalu dan alam).

Saat meminta angin ribut: Ikan apa ikan tebirin, ikan tebirin si merah mulut. Lalu apa lalu dikirin, lalau dikirin si dandang ribut (Lalau di tanah tinggi yang mudah diterpa angin).

Saat meminta gelap: Karnibit mati bebilit, mati bebilit sekandung padi. Kelang kelip bintang di langit, minta limbun si muka ari (Rumput karnibit mati melilit, mati melilit di batang padi. Kerlap-kerlip bintang di langit, minta awan menutupi bulan purnama).

Saat pulang: Perang alu perang pelelat, perang dilengkung si kayu ara. Pulang ayu pulang semengat, pulang ke tempat kita semua (Perang alu perang di pelelat, di tikungan kayu beringin. Roh kembali ke badan kita, pulang ke tempat kita semua).


Madu obat yang menyembuhkan bagi manusia (QS: An-Nahl: 69) Untuk pemesanan madu habbatussauda murni asli mesir no:1 Hub Bin Muhsin HP: 085227044550 / 021-91913103 email: binmuhsin_group@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar