Rabu, 25 November 2009

Meracik Obat Tradisional Secara Rasional

TINJAUAN PUSTAKA

Meracik Obat Tradisional Secara Rasional

LESTARI HANDAYANI DAN SUHARMIATI
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan dan Teknologi Kesehatan

.tempo.co.id/medika

Pendahuluan

Obat tradisional telah dikenal secara turun menurun dan digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan. Pemanfaatan obat tradisional pada umumnya lebih diutamakan sebagai upaya menjaga kesehatan atau preventif meskipun ada pula upaya sebagai pengobatan suatu penyakit. Dengan semakin berkembangnya obat tradisional, ditambah dengan gema kembali ke alam, telah meningkatkan popularitas obat tradisional. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya industri jamu dan industri farmasi yang memproduksi obat tradisional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Industri jamu atau industri farmasi berlomba-lomba memproduksi obat tradisional secara moderen dengan mengikuti proses produksi menggunakan mesin-mesin moderen. Di satu sisi, masih banyak industri rumah tangga yang memproduksi obat tradisional secara sederhana dengan menerapkan resep-resep kuno yang dipercayai bermanfaat untuk kesehatan. Beberapa keterbatasan dari obat tradisional adalah masih kurangnya penelitian ilmiah yang menunjang pemahaman tentang cara kerja obat tradisional dalam tubuh manusia. Penelitian yang sudah banyak dilakukan lebih pada penelitian masing-masing tanaman obat. Itupun dengan penelitian yang terbatas pada beberapa fokus penelitian dan bukan penelitian yang mengupas secara tuntas tentang satu tanaman obat. Kita ketahui bahwa jamu Indonesia merupakan racikan dari berbagai tanaman obat yang terkadang jumlahnya cukup mengejutkan karena tersusun dari 40 macam simplisia. Banyaknya jumlah simplisia penyusun akan menimbulkan kesulitan pada pelaksanaan uji dari berbagai aspek penelitian terhadap jamu.

Meskipun secara empiris jamu terbukti cukup aman dikonsumsi manusia mengingat pemanfaatan yang sudah diterapkan masyarakat selama ini, pembuktian ilmiah tetap merupakan tuntutan. Peraturan tentang pembatasan jumlah simplisia penyusun jamu merupakan salah satu langkah membina produsen jamu agar meracik jamu secara rasional dalam rangka mengurangi kemungkinan efek samping dan memudahkan penelitian penunjang apabila jamu tersebut akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Masyarakat sebagai konsumen obat tradisional menghendaki perlindungan terhadap praktik-praktik penyalahgunaan obat tradisional yang dapat membahayakan kesehatan. Pemerintah dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk mengatur kedua pihak, yaitu produsen dan konsumen agar sama-sama dalam posisi yang menguntungkan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang meracik obat yang rasional merupakan bahasan dengan maksud untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana seharusnya komposisi obat tradisional yang rasional pada jamu yang banyak beredar di masyarakat.

Jenis Obat Tradisional

Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM) yang kemudian beralih menjadi Badan POM mempunyai tanggung jawab dalam peredaran obat tradisional di masyarakat. Obat tradisional Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, telah diciptakan peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Namun, sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan penelitian sampai dengan uji klinik. Dengan keadaan tersebut maka obat tradisional sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu jamu, obat ekstrak alam, dan fitofarmaka.

  1. Jamu (Empirical based herbal medicine)

    Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 – 10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu.

  2. Ekstrak Bahan Alam (Scientific based herbal medicine)

    Adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan tehnologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik seperti standart kandungan bahan berkhasiat, standart pembuatan ekstrak tanaman obat, standart pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronis.

  3. Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine)

    Merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat moderen karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Oleh karena itu, dalam pembuatannya memerlukan tenaga ahli dan biaya yang besar ditunjang dengan peralatan berteknologi moderen.

Sumber Perolehan Obat Tradisional

Obat tradisional dapat diperoleh dari berbagai sumber sebagai pembuat atau yang memproduksi obat tradisional, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Obat tradisional buatan sendiri

    Obat tradisional jenis ini merupakan akar dari pengembangan obat tradisional di Indonesia saat ini. Pada zaman dahulu, nenek moyang kita mempunyai kemampuan untuk menyediakan ramuan obat tradisional yang digunakan untuk keperluan keluarga. Cara ini kemudian terus dikembangkan oleh pemerintah dalam bentuk program TOGA. Dengan adanya program TOGA diharapkan masyarakat mampu menyediakan baik bahan maupun sediaan jamu yang dapat dimanfaatkan dalam upaya menunjang kesehatan keluarga. Program TOGA lebih mengarah kepada self care untuk menjaga kesehatan anggota keluarga serta penanganan penyakit ringan yang dialami oleh anggota keluarga.

    Program TOGA bertujuan untuk menyediakan obat dalam rangka penanganan kesehatan sendiri. Dengan kemampuan pengetahuan serta pendidikan mayarakat yang bervariasi, program ini mengajarkan pengetahuan peracikan jamu serta penggunaannya secara sederhana tetapi aman untuk dikonsumsi. Sumber tanaman diharapkan disediakan oleh masyarakat sendiri, baik secara individu, keluarga, maupun kolektif dalam suatu lingkungan masyarakat. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahan baku dibeli dari pasar tradisional yang banyak menjual bahan jamu yang pada umumnya juga merupakan bahan untuk keperluan bumbu dapur masakan asli Indonesia. Pelaksanaan program TOGA diharapkan melibatkan peran aktif seluruh anggota masyarakat yang terwakili oleh ibu rumah tangga, dibimbing dan dibina oleh puskesmas setempat.

  2. Obat tradisional berasal dari pembuat jamu /Herbalist

    Membuat jamu merupakan salah satu profesi yang jumlahnya masih cukup banyak. Salah satunya adalah pembuat sekaligus penjual jamu gendong. Pembuat jamu gendong merupakan salah satu penyedia obat tradisional dalam bentuk cairan minum yang sangat digemari masyarakat. Jamu gendong sangat populer. Tidak hanya di pulau Jawa, tetapi juga dapat ditemui di berbagai pulau lain di Indonesia. Segala lapisan masyarakat sangat membutuhkan kehadirannya meskipun tidak dapat dipungkiri lebih banyak dari masyarakat lapisan bawah yang menggunakan jasa mereka. Selain jamu gendong yang umum dijual seperti kunir asam, sinom, mengkudu, pahitan, beras kencur, cabe puyang, dan gepyokan, mereka juga mampu menyediakan jamu khusus sesuai pesanan. Misalnya, jamu habis bersalin, jamu untuk mengobati keputihan, dll. Akhir-akhir ini, dengan adanya jamu-jamu industri seringkali kita jumpai penjual jamu gendong menyediakan jamu serbuk buatan industri untuk dikonsumsi bersamaan dengan jamu gendong yang mereka sediakan.

    Selain pembuat jamu gendong, peracik tradisional masih dapat dijumpai di Jawa Tengah. Mereka berada di pasar-pasar tradisional menyediakan jamu sesuai kebutuhan konsumen. Bentuk jamu pada umumnya sejenis jamu gendong, namun lebih mempunyai kekhususan untuk pengobatan penyakit atau keluhan kesehatan tertentu. Peracik jenis ini tampaknya sudah semakin berkurang jumlahnya dan kalah bersaing dengan industri yang mampu menyediakan jamu dalam bentuk yang lebih praktis.

    Tabib lokal masih dapat kita jumpai meskipun jumlahnya tidak banyak. Mereka melaksanakan praktik pengobatan dengan menyediakan ramuan dengan bahan alam yang berasal dari bahan lokal. Ilmu ketabiban seringkali diperoleh dengan cara bekerja sambil belajar kepada tabib yang telah berpraktik. Di beberapa kota, telah dapat dijumpai pendidikan tabib berupa kursus yang telah dikelola dengan baik dan diselenggarakan oleh tabib tertentu. Pada umumnya, selain pemberian ramuan, para tabib juga mengkombinasikannya dengan teknik lain seperti metode spiritual/agama atau supranatural.

    Sinshe adalah pengobat tradisional yang berasal dari etnis Tionghoa yang melayani pengobatan menggunakan ramuan obat tradisional bersumber dari pengetahuan negera asal mereka, yaitu Cina. Pada umumnya mereka menggunakan bahan-bahan yang berasal dari Cina meskipun tidak jarang mereka juga mencampur dengan bahan lokal yang sejenis dengan yang mereka jumpai di Cina. Obat tradisional Cina berkembang dengan baik dan banyak diimport ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan obat yang dikonsumsi, tidak saja oleh pasien etnis Cina tetapi juga banyak dikonsumsi oleh pribumi. Kemudahan memperoleh bahan baku obat tradisional Cina dapat dilihat dari banyaknya toko obat Cina yang menyediakan sediaan jadi maupun menerima peracikan resep dari Sinshe. Selain memberikan obat tradisional yang disediakan sendiri maupun yang disediakan oleh toko obat, Sinshe pada umumnya mengkombinasikan ramuan dengan teknik lain seperti pijatan, akupresur, atau akupungkur.

  3. Obat tradisional buatan industri.

    Berdasarkan peraturan Departemen Kesehatan RI, industri obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi industri kecil dan industri besar berdasar modal yang harus mereka miliki. Dengan semakin maraknya obat tradisional, tampaknya industri farmasi mulai tertarik untuk memproduksi obat tradisional. Tetapi, pada umumnya yang berbentuk sediaan moderen berupa ekstrak bahan alam atau fitofarmaka. Sedangkan industri jamu memproduksi lebih condong untuk memproduksi bentuk jamu yang sederhana meskipun akhir-akhir ini cukup banyak industri besar yang memproduksi jamu dalam bentuk sediaan moderen (tablet, kapsul, syrup dll.) dan bahkan fitofarmaka.

Komposisi Obat Tradisional yang Rasional

Dalam upaya pembinaan industri obat tradisional, pemerintah melalui Depkes telah memberikan petunjuk pembuatan obat tradisional dengan komposisi rasional melalui pedoman rasionalisasi komposisi obat tradisional dan petunjuk formularium obat tradisional. Hal ini terkait dengan masih banyaknya ditemui penyusunan obat tradisional yang tidak rasional (irrasional) ditinjau dari jumlah bahan penyusunnya. Sejumlah simplisia penyusun obat tradisional tersebut seringkali merupakan beberapa simplisia yang mempunyai khasiat yang sama. Oleh karena itu, perlu diketahui racikan simplisia yang rasional agar ramuan obat yang diperoleh mempunyai khasiat sesuai maksud pembuatan jamu tersebut.

Komposisi obat tradisional/yang biasa diproduksi oleh industri jamu dalam bentuk jamu sederhana pada umumnya tersusun dari bahan baku yang sangat banyak dan bervariasi. Sedang bentuk obat ekstrak alam dan fitofarmaka pada umumnya tersusun dari simplisia tunggal atau maksimal 5 macam jenis bahan tanaman obat. Pada pembahasan ini lebih ditekankan pada penyusunan obat tradisional bentuk sederhana atau jamu, mengingat cukup banyak komposisi jamu yang irrasional seperti penggunaan bahan dengan khasiat sejenis pada satu ramuan, penggunaan simplisia yang tidak sesuai dengan manfaat yang diharapkan, dll. Agar dapat disusun suatu komposisi obat tradisional maka beberapa hal yang perlu diketahui adalah:

  1. Nama umum obat tradisional/jamu

    Jamu yang diproduksi pada umumnya mempunyai tujuan pemanfaatan yang tercermin dari nama umum jamu. Perlu diketahui bahwa terdapat peraturan tentang penandaan obat tradisional. Jamu yang diproduksi dan didistribusikan kepada konsumen harus diberi label yang menjelaskan tentang obat tradisional tersebut, di antaranya tentang manfaat atau khasiat jamu. Penjelasan tentang manfaat jamu hanya boleh disampaikan dalam bentuk mengurangi atau menghilangkan keluhan atau gejala yang dialami seseorang dan bukan menyembuhkan suatu diagnosis penyakit.

    Secara umum, jamu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang bertujuan untuk menjaga kesehatan atau promotif dan mencegah dari kesakitan, serta jamu yang dimanfaatkan untuk mengobati keluhan penyakit. Nama umum jamu yang banyak diproduksi oleh industri serta tujuan pemanfaatnya antara lain adalah:

    Tujuan promotif atau preventif

    Ada beberapa macam jenis jamu dengan tujuan preventif dan promotif yang beredar di pasaran. Jamu tersebut diproduksi oleh industri obat tradisional baik besar maupun kecil. Nama jamu tersebut antara lain jamu anton-anton tua atau anton-anton muda, jamu habis bersalin, jamu ASI, jamu haid teratur, jamu berhenti haid, jamu jerawat, jamu penambah nafsu makan, jamu subur peranakan, dan jamu masa berhenti haid (menopause). Lihat lampiran 1.

    Tujuan kuratif

    Jamu dengan tujuan untuk menyembuhkan penyakit atau menghilangkan gejala penyakit cukup banyak dijumpai. Bahkan, saat ini industri farmasi bersaing dengan industri obat tradisional memproduksi berbagai obat tradisional yang berguna untuk terapi suatu penyakit. Obat tradisional ini sebagian telah diproduksi dalam bentuk ekstrak bahan alam, bahkan sebagian dalam bentuk fitofarmaka. Obat tradisional tersebut antara lain adalah jamu keputihan, jamu batuk, jamu sesak napas, jamu gatal, jamu bau badan, jamu cacingan, jamu eksim, jamu encok/rematik, jamu pilek/flu, jamu sakit kuning, jamu sembelit, jamu mencret, jamu ulu hati/ gastritis, jamu wasir/haemorhoid, dan lain-lain. Secara lengkap, nama jamu dan kegunaannya lihat lampiran 2.

  2. Komposisi bahan penyusun jamu

    Menyusun komposisi bahan penyusun jamu dapat dilakukan dengan memperhatikan manfaat yang akan diambil dari ramuan yang dibuat serta kegunaan dari masing-masing simplisia penyusun jamu terebut. Tujuan pemanfaatan jamu untuk suatu jenis keadaan tertentu harus memperhatikan keluhan yang biasa dialami pada kondisi tersebut. Misalkan pada orang hamil tua sering mengalami kejang pada kaki, badan mudah lelah, dan lain sebagainya; penderita rematik biasa mengeluhkan nyeri pada persendian.

    Keterbatasan yang dijumpai dalam penyusunan komposisi jamu adalah takaran dari masing-masing simplisia maupun dosis sediaan. Penelitian ilmiah dalam hal ini masih sangat kurang sehingga seringkali penetapan takaran maupun dosis hanya mengacu pada pengalaman peracik obat tradisional yang lain dan atas dasar kebiasaan penggunaan terdahulu. Beberapa jenis obat tradisional dengan komposisi bahan yang dibutuhkan disampaikan dalam lampiran 3.

  3. Simplisia dan kegunaan

    Indonesia yang terletak di katulistiwa sangat kaya akan jenis tanaman. Di antara puluhan ribu jenis tanaman yang telah diketahui mempunyai khasiat obat adalah sekitar 940 jenis, sedangkan dari jumlah tersebut yang sudah dimanfaatkan dalam industri jamu baru sekitar 250 jenis. Dari jenis simplisia yang umum digunakan oleh industri jamu, ada beberapa tanaman yang mempunyai kegunaan yang mirip satu dengan lainnya meskipun pasti juga terdapat perbedaan mengingat kandungan bahan berkhasiat antara satu tanaman dengan lainnya tidak dapat sama. Bahkan, untuk jenis tanaman yang sama, masih ada kemungkinanan kadar bahan berkhasiat yang terkandung tidak sama persis mengingat adanya pengaruh dari tanah tempat tumbuh, iklim, dan perlakuan, misalnya pemupukan .

    Pengetahuan tentang kegunaan masing-masing simplisia sangat penting. Dengan diketahui kegunaan masing-masing simplisia, diharapkan tidak terjadi tumpang tindih pemanfaatan tanaman obat serta dapat mencarikan alternatif pengganti yang tepat apabila simplisia yang dibutuhkan ternyata tidak dapat diperoleh.

  4. Penelitian yang telah dilakukan terhadap simplisia penyusun obat tradisional

    Obat tradisional terdiri dari berbagai jenis tanaman dan bagian tanaman. Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional maka obat tradisional yang terbukti berkhasiat perlu dimanfaatkan dan ditingkatkan kualitasnya. Untuk dapat membuktikan khasiatnya, sampai saat ini telah banyak dilakukan penelitian. Tetapi, masih bersifat pendahuluan dan masih sangat sedikit percobaan dilakukan sampai fase penelitian klinik. Penelitian yang telah dilakukan terhadap tanaman obat sangat membantu dalam pemilihan bahan baku obat tradisional. Pengalaman empiris ditunjang dengan penelitian semakin memberikan keyakinan akan khasiat dan keamanan obat tradisional. Perincian penelitian yang telah dilakukan terhadap kegunaan simplisia penyusun obat tradisional disampaikan pada lampiran 4.

Penutup

Telah disampaikan tentang peracikan obat tradisional dengan komposisi yang rasional. Contoh simplisia yang disampaikan dalam makalah ini tidak menutup pengetahuan dari literatur lain yang menunjang serta perkembangan penelitian yang lebih mutakhir. Oleh karena itu, penulis juga menganjurkan kepada pembaca yang berminat mendalami pengetahuan ini agar memperkaya dengan tambahan pengetahuan dari sumber-sumber lain. Pemahaman akan lebih baik lagi bila ditunjang dengan pengenalan tentang tanaman obat yang mudah dijumpai di wilayah masing-masing. Pengetahuan dan pemahaman tentang hal ini akan sangat berguna, khususnya bagi petugas kesehatan yang terlibat langsung dengan pembinaan dan pengawasan obat tradisional di wilayah kerjanya.

Daftar Pustaka

  1. Abdul Hanan. Beberapa catatan tentang sambiloto. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 3 Nomor 1, 1996. p. 19-20.
  2. Adjirni, Dzulkarnain B., Sa’roni. Penelitian Toksisitas Akut dan subkronik dari kayu angin pada hewan percobaan. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 1 No. 4, 1992, p. 22-24.
  3. Anas Subarnas, Sidik. Phyllathus niruri Linn, Kimia, Farmakologi dan penggunaannya sebagai obat t5radisional. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 dan 4, 1993. p. 13-15.
  4. Bambang Prayogo, Wahjo Dyatmiko, IGP Santa, Sutarjadi. Aktivitas antimikroba Daun Abrus precatorius. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 2, 1993. P. 49-50.
  5. Budi Nuratmi, Adjirni, Dea Paramita. Beberapa penelitian Farmakologi Sambiloto. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 3 No. 1, 1996, p. 23-24.
  6. Dea Paramita, Lucie Widowati, Budi Nuratmi, Informasi Khasiat Keamanan dan Fitokimia tanaman Tempuyung (Sonchus arvensis). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 1, 1998, p. 21-22.
  7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. Pedoman Rasionalisasi Komposisi Obat Tradisional. Edisi 1993. Jakarta: Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan.
  8. Dzulkarnain B ; Wahjoedi B ; Sjamsuhidayat S dkk, , 1990. Hasil Penelitian Tanaman Obat di Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan R.I 1974 – 1989. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan R.I.
  9. Hamzah, Retno L. Soebagyo, Widayat, Arief machien, Wahjo Dyatmiko. Efek Peluruh Kemih Ekstrak Meniran pada tikus. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 4, 1993, p. 22.
  10. Handayani Lestari. Pemanfaatan Obat Tradisional dalam Menangani Masalah Kesehatan.
  11. Hargono D. Beberapa Informasi Tentang Retrofracti Fructus. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol 1 No. 3, 1992, p. 4-7.
  12. Herra Studiawan, Wahjo Dyatmiko. Isolasi dan Identifikasi Sterol dari ekstrak heksana biji kedawung (Parkia javanica). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 5, 1993, p. 11-13.
  13. Indriani Uno, Soedarminah, Ani Surasmini, HaryonoP, Dewa Ketut Meles. Efek kedawung pada sediaan Terpisah Usus Halus Marmut. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2, No. 5, 1993, p. 2-3.
  14. Lida Yanti, Anggraeni, Yuningsih. Daya larut infus meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap batu kalsium. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol 2, No. 4, p. 23.
  15. Merati Yuliarti ; Rosnita E ; Fitrileni, Hidayatullah , 1992. Penetapan Potensi Asam Usnat dalam scabicid Cream Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Streptococcus Pyogenes ATCC 12385. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol.1 Nomor 4, p. 14-16.
  16. Muchsin darise, Burhanudin taebe. Isolasi dan Identifikasi strikhnin dan brusin dari bidara laut asal Maluku tenggara. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2, No. 1, 1993, p. 1-3.
  17. Nurhayati S., Sri Rahayuningsih E. Identifikasi secara KLT Terhadap Cabe jawa (retrofracti Fructus) yang terkandung dalam 34 jamu. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 1, No. 3, 1992, p. 30-31.
  18. Poeloengan M ; Dwi Rahayu R ; Harapini M ; Chairul , 1996. Diameter Daerah Hambat Yang Dibentuk Ekstrak Kencur Terhadap Pasteurella Multocida. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 3 Nomor 2, p. 14 -16.
  19. Rita Rahayu, Chaerul, Mindarti, Masniari P. Penelitian Pendahuluan Pengaruh ekstrak Daun dan Biji saga manis (Abrus precatorius) terhadap beberapa jenis bakteri. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2, No. 2, 1993, p. 46-47.
  20. Sa’roni ; Winarno Wien ; Adjirni ; Nuratmi.B , 1992. Beberapa Penelitian Efek farmakologi Cabe Jawa pada Hewan Percobaan. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 1 No.3, 1992, p. 1 - 4.
  21. Soedjak N, dkk. Efek Farmakologi Daun Meniran (Phyllanthus niruri L.) terhadap otot polos usus halus secara terpisah pada kelinci. Sa’roni ; Winarno Wien ; Adjirni ; Nuratmi.B , 1992. Beberapa Penelitian Efek farmakologi Cabe Jawa pada Hewan Percobaan. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 4, 1993, p. 34.
  22. Sudarso dkk. Penentuan LD50 Rebusan kayu Bidara (Strychnos ligustrina ) terhadap mencit. Sa’roni ; Winarno Wien ; Adjirni ; Nuratmi.B , 1992. Beberapa Penelitian Efek farmakologi Cabe Jawa pada Hewan Percobaan. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 1, 1993, p. 22-23.
  23. Sukardiman. Standarisasi Biji Kedawung (Parkis biglobosa) menurut metode materia Medika Indonesia. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 5, 1993, p. 10-11.
  24. Sutjipto, Johnny Ria Hutapea. Identifikasi Mikroskopik daun tempuyung (Sonchus arvensis). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 3, 1993, p. 20.
  25. Suwidjijo Pramono, Sumarno, Sri Wahyono. Flavonoid Daun Sonchus arvensis L. senyawa pembentuk kompleks dengan batu ginjal berkalsium. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 3, 1993, p. 5-7.
  26. Teguh Wahyudi, Retno L. Soebagyo, haryanto Husein, Soedjak, Andriati. Eksplorasi Toksisitas akut infusum biji Kedawung. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 5, 1993, p. 3-4.
  27. Wahjoedi B, Pudjiastuti. Beberapa Informasi efek farmakologi bidara laut (Strychnos ligustrina BI) pada hewan percobaan. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 1, 1993, p. 20-21.
  28. Wien Winarno, Dian Sundari, Dea paramita. Beberapa informasi penelitian khasiat keamanan dan fitokimia tanaman meniran (Phyllanthus niruri L). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 2 No. 4, 1993, p. 24-25.
  29. Wuryaningsih L ; Rarome Mutiara ; Tri windono , 1996. Uji Analgesik Ekstrak Etanol kering Rimpang Kencur Asal Purwodadi pada mencit Dengan Metode Geliat (Writhing Reflex Test). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 3 Nomor 2, 1996, p. 24-25.
  30. Yufri Aldi, Nelly C. Sugiarso, Andreanus AS, Anna Setiadi. Uji efek antihistaminergik dari tanaman sambiloto. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 3 Nomor 1, 1996, p. 17-19.
  31. Yun Astuti ; Sundari Dian ; Winarno W , 1996. Tanaman Kencur (Kaemferia galanga L). Informasi Tentang Fitokimia dan Efek Farmakologi. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Vol. 3 Nomor 2, 1996, p. 26-27.


HABBATUSSAUDA OBAT SEGALA MACAM PENYAKIT KECUALI KEMATIAN (HR. BUKHARI MUSLIM) MADU OBAT YANG MENYEMBUHKAN BAGI MANUSIA (QS:AN-NAHL: 69) UNTUK PEMESANAN HUBUNGI BIN MUHSIN HP: 085227044550 Tlp: 021-91913103 SMS ONLY: 081213143797
@MyYM @MyFacebook @MyTwitter @MyYuwie @MyFriendster
binmuhsin_group@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar